Menurut Tumiran, kondisi ini harus mendapat perhatian Pemerintah agar keberlanjutan pengembangan biomassa tetap terjaga, dengan membuat regulasi agar pemanfaatan di dalam negeri tetap menarik.
“Jadi siapa yang mengatur, regulator kita bagaimana cara mengatur supaya ini kompetitif bisa di dalam negeri, ” ujarnya.
Tumiran melanjutkan, untuk pemanfaatan biomassa yang bahan bakunya berasal dari sampah juga membutuhkan peran pemerintah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat. Sehingga masyarakat memilah sampah yang cocok dijadikan biomassa.
“Bagaimana kesadaran masyarakat untuk mengatur sampah, tapi apakah kesadaran masyarakat bisa tumbuh sendiri? nggak bisa, perlu peran Pemerintah untuk mengatur,” ujarnya.
Baca Juga:
– PLN Gandeng Pemkab Tangerang Kelola Sampah hingga Manfaatkan Limbah PLTU untuk Bantu Masyarakat
– Lewat Program Co-Firing, PLN Hadirkan Solusi Atasi Masalah Sampah di Indramayu
– Layanan Kelistrikan Kian Mudah dan Cepat, Ini Kata Pelanggan PLN Tentang PLN Mobile
Sampah tidak bisa diolah masyarakat sendiri, dibutuhkan peran Pemerintah untuk mengolahnya. Hal ini pun telah dilakukan oleh negara lain seperti Jepang, Korea dan Swedia.
“Di mana-mana saya ke Jepang, ke Korea, ke Swedia itu memang Pemerintah turut campur dalam mengolah sampah, sampah butuh diatur tidak bisa menyerahkan pengolahan sampah ke pengusaha. Pemerintah mengatur pengusaha bisa memanfaatkan bagian yang bermanfaat,” paparnya.
Tumiran mengungkapkan, pemanfaatan sampah untuk energi pun masih sulit karena banyak hambatan, salah satunya adalah perbedaan persepsi tentang biaya pengolahan sampah yang dikeluarkan Pemerintah untuk badan usaha.
“Ada yang beranggapan kalau dikasih tipping fee side produknya jadi listrik Pemerintah memberikan subsidi pengusaha, kesannya demikian” tuturnya.
Oleh karena itu masih menurut Tumiran, harga biomassa sebaiknya tidak ditetapkan berdasarkan harga batubara seperti DMO yang harganya ditetapkan oleh Pemerintah.
“Walaupun tidak harus mengikuti mekanisme pasar Internasional, tetapi cara penentuan harga memperhatikan basic cost yang dapat dihitung. Misalnya untuk pengembangan hutan tanaman energi, ada struktur cost yang dapat dihitung untuk menentukan kelayakan harga bio-masa kayu sebagai energi,” tutur Tumiran
Cara lain adalah dengan penerapan elastisitas pada tarif untuk kelompok pelanggan mampu. Adanya konstribusi biomassa sebagai EBT bila berkonstribusi terhadap kenaikan BPP, maka kenaikan tersebut dapat di pass-through ke tarif kelompok pelanggan mampu sebagai delta perubahan tarif. Cara penerapan ini berlaku di beberapa negara, contohnya di Thailand. (Budi Herman/r)