Jakarta, PRESISI-NEWS
Penyidikan kasus dugaan korupsi di tubuh PT Garuda Indonesia (Persero) membuahkan hasil setelah penyidik Kejagung menetapkan dua tersangka terkait pengadaan Pesawat Udara pada tahun 2011 s/d 2021.
Jaksa Agung Dr Burhanuddin SH menuturkan Tim Penyidik menetapkan ES selaku Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero), Tbk. Tahun 2005-2014 sebagai tersangka.
“Penetapan tersangka berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Prin-36/F.2/Fd.2/06/2022 dan Surat Penetapan Tersangka Nomor: TAP-32/F.2/Fd.2/06/2022 tanggal 27 Juni 2022,” Jelas Burhanuddin kepada wartawan di Kejaksaan Agung, Senin (27/06/2022).
Kemudian lanjut Burhanuddin SH tersangka SS selaku Mantan Direktur Utama PT Mugi Rekso Abadi (MRA) .
Penyidikan tersangka ini berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Prin-37/F.2/Fd.2/06/2022 dan Surat Penetapan Tersangka Nomor: TAP-33/F.2/Fd.2/06/2022 tanggal 27 Juni 2022.
Dalam keterangan yang didampingi Menteri BUMN Erick Thohir dan Kepala BPKP Pusat Jaksa Agung Burhanuddin mengatakan Penetapan tersangka ini merupakan hasil dari hasil ekspos atau gelar perkara yang dilakukan penyidik.
“Kedua orang tersangka ini disangkakan melanggar Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi,” katanya.
Kejagung sebelumnya telah menetapkan tersangka dan pekaranya sudah bergulir di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
Mereka, yakni Executive Project Manager Aircraft Delivery PT Garuda Indonesia 2009–2014,
Agus Wahjudo; Vice President Strategic Management PT Garuda Indonesia 2011–2012, Sutijo Awibowo; dan mantan Vice President Treasury Management PT Garuda Indonesia, Albert Burhan.
Menjawab wartawan Jaksa Agung Burhanuddin memastikan ini tidak ada nebis in indem dalam kasus kedua tersangka.
“Untuk kasus ini sama sekali tidak ada nebis in idem di sini karena yang disidik kejaksaan soal pertanggungan kinerja, sedangkan uang disidik! KPK terkait penerimaan suap, ” kata Burhanuddin.
Sementara itu Kepala Pusat penerangan hukum Kejagung, Dr Ketut Sumedana, menyampaikan, mereka diduga terlibat tindak pidana korupsi pengadaan 18 unit pesawat Sub 100 seater tipe jet kapasitas 90 seat jenis Bombardier CRJ-100 pada tahun 2011.
Pasalnya, rangkaian proses pengadaannya, baik tahap perencanaan maupun evaluasi tidak sesuai dengan Prosedur Pengelolaan Armada (PPA) PT Garuda Indonesia (persero) Tbk.
Dalam tahapan perencanaan yang dilakukan tidak terdapat laporan analisa pasar, laporan rencana rute, laporan analisa kebutuhan pesawat, dan tidak terdapat rekomendasi BOD dan Persetujuan BOD.
Lalu dalam tahap pengadaan pesawat, evaluasi dilakukan mendahului RJPP dan atau RKAP dan tidak sesuai dengan konsep bisnis “full service airline” PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk.
“ES selaku Direktur Utama, H selaku Direktur Teknik, tersangka AW, AB, dan SA bersama tim perseroan atau tim pengadaan melakukan evaluasi dan menetapkan pemenang Bombardier CRJ-1000 secara tidak transparan, tidak konsisten dalam penetapan kriteria, dan tidak akuntabel dalam penetapan pemenang,” ujarnya.
Akibat proses pengadaan pesawat CRJ-1000 dan pengambilalihan pesawat ATR72-600 yang dilakukan tidak sesuai dengan PPA, prinsip-prinsip pengadaan BUMN, dan prinsip business judgment rule, mengakibatkan performance pesawat selalu mengalami kerugian saat dioperasikan.
Atas perbuatan tersebut, mereka disangka melanggar sangkaan Primair, yakni Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Subsidiairnya, melanggar Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. (Buher/r)