Menjawab itu, Gubernur Edy Rahmayadi mengatakan bahwa dalam hal merit sistem, keberadaan pimpinan OPD yang beberapa di antaranya masih dijabat seorang Plt, adalah karena aturan Meritokrasi mengharuskan seseorang mempunyai kapasitas sesuai keilmuan yang dimiliki. Sehingga ukurannya, ditentukan melalui seleksi oleh para ahli dibidangnya.
“Bicara Meritokrasi, dia harus diawali dengan pendidikannya. Kalau saya mencoba menelusuri itu (riwayat pendidikan), ini kayaknya kita salah. Tetapi kita kan ini mencocok-cocokkan. Artinya, dokter itu bisa jadi politisi, tetapi politisi belum tentu bisa jadi dokter. Itu yang bertentangan sejak awal dengan Meritokrasi,” jelas Gubernur dalam siaran rilis Diskominfo Sumut.
Selanjutnya, kata Gubernur, Meritokrasi adalah pembatasan. Seorang yang terpilih, harusnya melewati seleksi (ujian) yang diberikan tim seleksi berdasarkan aturan dan standar nilai yang ada. Sehingga tidak semua orang bisa menduduki satu kursi pimpinan OPD, jika nilainya tidak mencapai hasil yang ditentukan.
“Contoh awal saat saya masuk (menjabat), ada open bidding (lelang jabatan). Saya kira seperti di masa saya tentara, ada namanya tes prajurit setiap 6 bulan. Di sipil, tak ada tes. Begitu mau pindah jabatan, pindah eselon, khususnya II, open biding dia, tak tahu pun jurusannya,” katanya.
Kemudian untuk penggabungan OPD tersebut, Pemprov bisa menghemat anggaran hingga Rp800 Miliar (per tahun). Anggaran tersebut bila dialihkan kepada penggunaan lain, bisa untuk membangun setidaknya 16 jembatan. “Jadi kalau kita ini sekarang, ibarat kapal yang harus diangkat sampai ke permukaan. Ayo sama-sama, kita bisa berbuat untuk Sumut. Termasuk soal KTP mahal, harusnya gratis, kalau kita semua jujur,” pungkasnya. (abis/r)